Skip to main content

(Buku Digital) Guru Tanpa Murid

Sebelum masuk ke inti cerita, saya mau sedikit flashback nih.

Tahun 2017, saya lagi keranjingan baca cerita di Wattpad. Tau novel Resign karya Almira Bastari? Nah, itu adalah salah satu dari sekian karya yang saya ikutin banget meskipun masih on going, sampai akhirnya karya itu dijadikan buku. Luar biasa. Berhubung Wattpad ini adalah media menulis karya yang masih sifatnya masih random (ada cerita yang lengkap, ada yang belum utuh karena penulisnya vakum, dll), akhirnya saya coba cari cara lain buat membaca dan dipertemukanlah sama yang namanya IPusnas.

Sama seperti deskripsi di profil Instagramnya, iPusnas adalah aplikasi perpustakaan digital dengan fitur media sosial yang dipersembahkan oleh Perpustakaan Nasional. Jadi, ketika kita sudah terdaftar dalam aplikasi iPusnas, kita bisa ‘meminjam’ buku dan membacanya secara online. Menurut saya, iPusnas ini merupakan salah satu bentuk transformasi perpustakaan, yang dulunya hanya menyediakan buku secara fisik, sekarang udah mulai membuka diri untuk menyediakan buku digital. IPusnas ini bisa diunduh melalui Google Playstore ya.

Nah, pada hari ini, tanggal 17 Mei 2020, Perpusnas merayakan ulang tahun ke-40 yang bertepatan pula dengan Hari Buku Nasional. Jadi sebagai bentuk apresiasi saya untuk memperingatinya, post kali ini akan membahas buku digital yang saat ini sedang saya pinjam dari iPusnas berjudul Guru tanpa Murid, karangan Pankas Kraeng, SSCC.

Buku ini menuliskan 4 (empat) bagian utama, yaitu: Negara Bertanggung Jawab, Membentuk Dari Rumah, Sukses Ada di Tangan Saya, dan Sekolah Menyempurnakan.

Pada bagian pertama, kita diajak untuk merefleksikan bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki tantangan dalam segala bidang, dalam hal ini adalah pendidikan. Salah satu kepincangan pendidikan Indonesia adalah karakternya yang eksklusif. Tidak semua sekolah dapat dijangkau berbagai kalangan. Padahal kita tahu bahwa kualitas sebuah bangsa sangat tergantung pada kualitas dan tingginya tingkat pendidikan warganya. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, pemerintah perlu menggerakkan upaya untuk menjamin ketersediaan seluruh sarana prasarana pendidikan dan menjamin kesejahteraan guru. Langkah lainnya adalah memanggil pulang kaum intelektual Indonesia yang berada di luar Indonesia untuk mengabdikan ilmu membangun Indonesia. Saat ini, ada beberapa program dari pemerintah yang menjadi bentuk kepedulian negara terhadap pendidikan. Di sisi lain, kita semua, baik sebagai orang tua maupun murid, harus bergerak bersama sebagai agen pendidikan untuk mendukung pemerintah dalam “…mencerdaskan kehidupan bangsa.” Segala kekurangan dan kesulitan yang kita hadapi saat ini seharusnya menjadi tantangan bagi kita untuk mengoptimalkan segala kemampuan dan kualitas yang ada, bukan justru menyalahkan salah satu pihak, karena kita semua memegang peranan dalam bidang pendidikan.

Berbicara mengenai pendidikan ini tentu tidak lepas pula dari literasi, dalam hal ini: perpustakaan. Di tengah paradigma bahwa ada kebutuhan dasar selain buku yang lebih penting untuk hidup sehari-hari, perpustakaan hadir sebagai sebuah solusi untuk menanamkan budaya membaca di masyarakat dengan biaya yang lebih ekonomis. Sudah menjadi hal yang umum bahwa membaca dapat memperkaya wawasan, menumbuhkan kreativitas, dan menambah perbendaharaan kata. Dengan membaca, masyarakat menjadi lebih kritis mengikuti atau menentang pandangan yang dipaparkan, atau bahkan mengusulkan pandangan baru. Kebiasaan membaca juga membantu kita dalam menciptakan kebijaksanaan.

“Potensi manusia justru ditantang dalam keterbatasan lingkungan” (Hlm. 5)

“Pendidikan bukan saja sebuah investasi ekonomi melainkan penanaman modal kehidupan yang membantu menusia berkembang dan beradaptasi dalam zaman yang terus berubah dan menantang” (Hlm. 16)

“Para pemikir yang kreatif dan inovatif adalah produk dari budaya membaca yang sudah tertanam sejak kecil.” (Hlm. 23)

Pada bagian kedua, dijelaskan bahwa pendidikan sejatinya dimulai dari rumah. Istilah ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi’ dapat dipatahkan dengan penjelasan dalam bagian ini. Meskipun tidak sekolah tinggi, para wanita yang notabene merupakan kunci utama dalam mendidik dan membentuk manusia, tetap memerlukan program pendidikan, baik secara formal maupun informal. Selain sebagai tempat untuk memulai suatu pendidikan, keluarga juga menjadi tempat untuk memperoleh spiritualitas. Relasi keluarga yang spiritual akan membuat masing-masing anggota keluarga memiliki peran dan ‘tempat’ dalam keluarga.

“Sekolah tidak bisa menjadi satu-satunya andalan juka kita ingin membentuk manusia utuh dan integral.” (Hlm. 31)

“Tanpa bermain anak kehilangan dunianya.” (Hlm. 38)

“Merasa diterima dan dicintai apa adanya oleh orang tua merupakan kebutuhan utama…” (Hlm. 46)

Pada bagian ketiga, ada pertanyaan yang menggelitik: mengapa harus sekolah? Ada beragam alasan mengapa kita bersekolah, ada yang ke sekolah karena diminta oleh orang tua, ada yang ke sekolah supaya bisa bermain dengan teman-temannya. Apapun alasannya, yang paling penting dilakukan selanjutnya adalah menemukan diri dan misi hidup serta menentukan projected self, karena saat ini, ada banyak anak yang berprestasi, meraih cumlaude, mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi, namun dia sendiri mengalami kekosongan eksistensial dalam dirinya.

Apa yang kita cita-citakan di masa kecil merupakan bagian dari masa depan kita. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, bersekolah menjadi sebuah proses untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi masa depan yang masih belum jelas. Tanpa kita sadari, ketika bersekolah, kita akan menemukan guru yang penyayang, yang galak, dan teman-teman lainnya untuk membawa kita berproses dalam melepaskan keterbatasan.

“Masa depan Anda bukan sekadar profesi atau jabatan melainkan sebuah misi khusus dalam menjadikan dunia di sekitar lebih baik daripada kemarin.” (Hlm. 63)

“Setiap pengalaman yang terjadi, menyenangkan atau menyakitkan, punya nilai pembelajaran bagi Anda di masa yang akan datang.” (Hlm. 68)

“Singkatnya Anda perlu menjaga keseimbangan antara belajar, makan, kerja, istirahat, olahraga, dan kegiatan rohani.” (Hlm. 70)

Pada bagian keempat, kita dihadapkan pada suasana dilematis setiap tahun ajaran baru, baik dilihat dari sisi sekolah, orang tua, maupun murid sendiri. Setiap orang tua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkualitas namun hal itu juga bergantung pada kemampuan ekonomi keluarga dan kemampuan intelektual anak. Di sisi lain, sekolah juga mengejar target jumlah murid. Kekurangan murid berarti berkurangnya kelas, pengurangan guru, dan penurunan kesejahteraan, padahal semakin sedikit jumlah murid, proses pembelajaran menjadi semakin intensif.

Tak hanya itu, proses pembelajaran yang seharusnya mengarah ke autoformasi tidak dapat tercapai karena saat ini sebagian besar peserta didik justru terjebak dengan menjadi pribadi yang diinginkan orang lain atau proyeksi orang tua dan belum bergerak menuju ‘dirinya sendiri’, yang akhirnya menghambat kualitas dan membuat peserta didik kehilangan makna hidup ketika dewasa nanti. Apa yang perlu kita lakukan? Membentuk proses autoformasi itu sendiri!

“Anak bisa saja menyenangkan orang tua dengan angka rapor yang tinggi, tetapi menyembunyikan sikap dan tingkah laku yang melanggar nilai hidup… ” (Hlm. 90)

“Penilaian terhadap peserta didik tidak lagi bergantung pada keberhasilan mengerjakan soal ulangan atau ujian dalam satu atau dua jam melainkan keberhasilannya dalam menghadapi persoalan kehidupan.” (Hlm. 102)

Sekali lagi, kita semua memiliki kontribusi yang sama penting dalam memperbaiki pendidikan.

Mungkin saat ini kita nggak bergerak langsung di bidang pendidikan, namun sebagai calon orang tua (amin) yang nantinya akan mendidik anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, kita pun akan memiliki peran dalam transformasi pendidikan yang lebih baik, terutama di tengah situasi global saat ini. Pendidikan bukan hanya bicara mengenai sekolah, tetapi juga cerminan dari diri kita sendiri.

Lettura felice! Happy Reading! Selamat membaca!

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Pernikahan: Pengalaman KPP Online

Ada yang sedang menyiapkan pernikahan Katolik? Gimana? Susah nggak? Atau justru masih butuh referensi?Kali ini saya mau share pengalaman persiapan pernikahan secara Katolik yang kami lewati selama setahun ini. Kalau kalian dan pasangan sama-sama Katolik, tinggal di kota yang berbeda dengan paroki asal atau alamat KTP, dan mau melangsungkan pernikahan, semoga cerita ini dapat membantu, ya. Salah satu tahap yang harus dilewati untuk pelaksanaan pernikahan Katolik adalah Kursus Persiapan Pernikahan (KPP). KPP ini perlu diikuti oleh kalian dan pasangan, maksimal 6 bulan sebelum pernikahan dan minimal 2 bulan sebelum tanggal penerimaan sakramen pernikahan.  Sebagai informasi, saya dan pasangan berencana menikah pada tanggal 24 Juli 2021 dan kami mengikuti KPP pada tanggal 13-14 Februari 2021. Saat itu, ada 2 alternatif tempat pelaksanaan KPP, yaitu di Gereja St Perawan Maria Katedral Jakarta dan Gereja St. Perawan Maria Katedral Bogor. Mempertimbangkan kemudahan akses dan persyaratan,

Romeo India Sierra Kilo Alpha

Belum paham apa maksud judulnya? Baiklah, saatnya story time.. Di awal tahun 2018, ada acara yang cukup besar di kantor dan melibatkan banyak pihak eksternal, mulai dari Kementerian, BUMN, Perbankan, Perusahan Swasta, dan lain sebagainya. Saya pun diberi tugas untuk mengirimkan undangan dan melakukan konfirmasi kehadiran tamu. Biar cepet, konfirmasinya pakai telepon, tuh. Singkat cerita, salah satu perusahaan meminta saya bertukar alamat email untuk korespondensi acara. Berhubung alamat emailnya susah, saya minta Person In Charge (PIC)nya untuk mengeja alamat email dan ia pun mengeja huruf per huruf dengan kata-kata. Saya yang terbiasa mengeja huruf dengan A Be Ce De bingung dong. Saya pun minta PICnya untuk mengulang ejaannya berkali-kali. Dengan amat sangat polos, saya menuliskan kata per kata yang ia sebutkan itu. Di situ barulah saya sadar kalau huruf depan dari kata yang diucapkan itu adalah huruf yang dimaksud/dieja. Nah, tibalah giliran saya untuk menyampaikan alamat email. Untu

Halo!

Hi. I’m Riska, Indonesian. I grew up in Magelang before moving north to Semarang, the capital city of Central Java. Then I moved to Jakarta, the capital city (again) of Indonesia, for my career life.. Welcome to my blog..